Keluarga Sebagai Sekolah Pertama dalam Pendidikan Pemilih

Oleh: Munawaroh

Anggota KPU Kabupaten Indramayu, Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi, Hubungan Masyarakat dan Sumber Daya Manusia 

 

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, partisipasi politik masyarakat menjadi indikator penting kemajuan demokrasi. Salah satu wujud nyata partisipasi politik adalah keikutsertaan dalam pemilihan umum (pemilu). Namun, sering kali kita melihat bahwa pemilih pertama, yakni generasi muda yang baru pertama kali memiliki hak suara masih belum memahami secara mendalam arti dan tanggung jawab di balik tindakan memilih. Di sinilah peran keluarga menjadi sangat penting sebagai lembaga pertama dan utama dalam pendidikan politik yang sehat.

Keluarga: Pondasi Pertama Pendidikan Demokrasi

Keluarga bukan sekadar tempat berlindung dan memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga merupakan “sekolah pertama” bagi setiap individu. Nilai-nilai moral, etika, tanggung jawab, serta cara berpikir kritis mulai dibentuk di lingkungan keluarga. Begitu pula dengan pendidikan politik dan kesadaran demokrasi. Sebelum anak mengenal lembaga pendidikan formal atau media massa, mereka terlebih dahulu belajar dari perilaku, perkataan, dan teladan orang tua.

Misalnya, ketika orang tua mengajarkan kejujuran, anak belajar untuk tidak mudah percaya pada janji manis yang tidak terbukti. Saat orang tua menanamkan nilai tanggung jawab dan keadilan, anak akan memahami bahwa memilih pemimpin bukan perkara sepele, melainkan amanah untuk menentukan arah masa depan bangsa. Melalui teladan dan komunikasi dalam keluarga, nilai-nilai demokrasi tumbuh secara alami.

Teladan Orang Tua sebagai Pendidikan Politik Awal

Anak-anak belajar bukan hanya dari nasihat, tetapi dari contoh konkret yang mereka lihat sehari-hari. Ketika orang tua menggunakan hak pilihnya dengan penuh kesadaran, datang ke TPS dengan sukarela, dan tidak tergoda politik uang, hal itu menjadi pelajaran langsung bagi anak tentang makna tanggung jawab sebagai warga negara.
Sikap orang tua yang terbuka dalam berdialog mengenai pilihan politik juga membentuk budaya diskusi sehat dalam keluarga. Anak belajar bahwa perbedaan pandangan bukanlah alasan untuk bermusuhan, melainkan bagian dari dinamika demokrasi.

Sebaliknya, ketika politik dianggap tabu dibicarakan di rumah atau orang tua menunjukkan sikap apatis terhadap pemilu, anak akan tumbuh dengan pandangan sempit bahwa politik tidak penting. Padahal, politik dan kebijakan publik memiliki dampak besar terhadap kehidupan sehari-hari, mulai dari pendidikan, ekonomi, hingga kesejahteraan sosial.

Peran Komunikasi dan Diskusi Keluarga

Salah satu bentuk pendidikan pemilih pertama yang efektif adalah membangun komunikasi terbuka di dalam keluarga. Orang tua dapat mengajak anak untuk membahas isu-isu sosial dan politik yang sedang berkembang. Tidak harus dengan istilah yang rumit; bisa dimulai dengan pertanyaan sederhana seperti: “Mengapa kita perlu memilih?”, “Apa dampaknya kalau kita tidak ikut pemilu?”, atau “Apa yang membuat seorang pemimpin layak dipilih?”

Dengan berdialog seperti ini, anak akan belajar berpikir kritis, menilai informasi dari berbagai sumber, dan memahami pentingnya keterlibatan mereka dalam menentukan masa depan bangsa. Proses ini jauh lebih bermakna dibandingkan sekadar memberikan pengarahan singkat menjelang hari pemungutan suara.

Tantangan Pendidikan Pemilih di Era Digital

Kehadiran teknologi digital dan media sosial membawa dampak besar bagi pembentukan opini politik generasi muda. Di satu sisi, informasi sangat mudah diakses; di sisi lain, arus hoaks dan disinformasi juga semakin marak. Dalam situasi ini, keluarga berperan penting sebagai “filter nilai” agar anak tidak mudah terpengaruh oleh berita palsu atau propaganda politik yang menyesatkan.

Orang tua perlu membekali anak dengan kemampuan literasi digital dengan mengajarkan bagaimana memeriksa kebenaran berita, mengenali sumber terpercaya, dan berpikir kritis sebelum menyebarkan informasi. Dengan demikian, anak tidak hanya menjadi pemilih yang aktif, tetapi juga pemilih yang cerdas dan bijak dalam menggunakan media.

Menyiapkan Generasi Pemilih Berintegritas

Membangun generasi pemilih pertama yang berintegritas bukan hanya tanggung jawab sekolah atau KPU, tetapi juga tanggung jawab keluarga. Setiap keluarga dapat berperan melalui tindakan sederhana: mengajak anak ikut menyimak debat calon pemimpin, mendiskusikan program kerja, atau bahkan menjelaskan proses pemilu itu sendiri.
Ketika anak merasa dilibatkan, mereka akan memiliki rasa kepemilikan terhadap masa depan bangsanya dan lebih siap untuk menggunakan hak pilih secara bertanggung jawab.

Selain itu, keluarga dapat menanamkan prinsip bahwa memilih bukan sekadar hak, melainkan juga kewajiban moral. Dengan cara ini, generasi muda akan memahami bahwa satu suara memiliki kekuatan besar dalam menentukan arah kebijakan publik dan pembangunan nasional.

Penutup

Keluarga adalah fondasi utama dalam membentuk karakter pemilih pertama. Dari keluargalah anak belajar mengenal arti kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulian terhadap sesama nilai-nilai yang juga menjadi inti dari demokrasi.
Apabila setiap keluarga mampu menjalankan fungsi pendidikan politik dengan baik, maka kita tidak hanya melahirkan pemilih pertama yang cerdas, tetapi juga generasi muda yang sadar politik, berintegritas, dan siap menjaga keberlangsungan demokrasi Indonesia.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 231 Kali.