Selamat Datang di Website Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Indramayu

Headline

#Trending

Informasi

Opini

Keluarga Sebagai Sekolah Pertama dalam Pendidikan Pemilih

Oleh: Munawaroh Anggota KPU Kabupaten Indramayu, Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi, Hubungan Masyarakat dan Sumber Daya Manusia    Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, partisipasi politik masyarakat menjadi indikator penting kemajuan demokrasi. Salah satu wujud nyata partisipasi politik adalah keikutsertaan dalam pemilihan umum (pemilu). Namun, sering kali kita melihat bahwa pemilih pertama, yakni generasi muda yang baru pertama kali memiliki hak suara masih belum memahami secara mendalam arti dan tanggung jawab di balik tindakan memilih. Di sinilah peran keluarga menjadi sangat penting sebagai lembaga pertama dan utama dalam pendidikan politik yang sehat. Keluarga: Pondasi Pertama Pendidikan Demokrasi Keluarga bukan sekadar tempat berlindung dan memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga merupakan “sekolah pertama” bagi setiap individu. Nilai-nilai moral, etika, tanggung jawab, serta cara berpikir kritis mulai dibentuk di lingkungan keluarga. Begitu pula dengan pendidikan politik dan kesadaran demokrasi. Sebelum anak mengenal lembaga pendidikan formal atau media massa, mereka terlebih dahulu belajar dari perilaku, perkataan, dan teladan orang tua. Misalnya, ketika orang tua mengajarkan kejujuran, anak belajar untuk tidak mudah percaya pada janji manis yang tidak terbukti. Saat orang tua menanamkan nilai tanggung jawab dan keadilan, anak akan memahami bahwa memilih pemimpin bukan perkara sepele, melainkan amanah untuk menentukan arah masa depan bangsa. Melalui teladan dan komunikasi dalam keluarga, nilai-nilai demokrasi tumbuh secara alami. Teladan Orang Tua sebagai Pendidikan Politik Awal Anak-anak belajar bukan hanya dari nasihat, tetapi dari contoh konkret yang mereka lihat sehari-hari. Ketika orang tua menggunakan hak pilihnya dengan penuh kesadaran, datang ke TPS dengan sukarela, dan tidak tergoda politik uang, hal itu menjadi pelajaran langsung bagi anak tentang makna tanggung jawab sebagai warga negara. Sikap orang tua yang terbuka dalam berdialog mengenai pilihan politik juga membentuk budaya diskusi sehat dalam keluarga. Anak belajar bahwa perbedaan pandangan bukanlah alasan untuk bermusuhan, melainkan bagian dari dinamika demokrasi. Sebaliknya, ketika politik dianggap tabu dibicarakan di rumah atau orang tua menunjukkan sikap apatis terhadap pemilu, anak akan tumbuh dengan pandangan sempit bahwa politik tidak penting. Padahal, politik dan kebijakan publik memiliki dampak besar terhadap kehidupan sehari-hari, mulai dari pendidikan, ekonomi, hingga kesejahteraan sosial. Peran Komunikasi dan Diskusi Keluarga Salah satu bentuk pendidikan pemilih pertama yang efektif adalah membangun komunikasi terbuka di dalam keluarga. Orang tua dapat mengajak anak untuk membahas isu-isu sosial dan politik yang sedang berkembang. Tidak harus dengan istilah yang rumit; bisa dimulai dengan pertanyaan sederhana seperti: “Mengapa kita perlu memilih?”, “Apa dampaknya kalau kita tidak ikut pemilu?”, atau “Apa yang membuat seorang pemimpin layak dipilih?” Dengan berdialog seperti ini, anak akan belajar berpikir kritis, menilai informasi dari berbagai sumber, dan memahami pentingnya keterlibatan mereka dalam menentukan masa depan bangsa. Proses ini jauh lebih bermakna dibandingkan sekadar memberikan pengarahan singkat menjelang hari pemungutan suara. Tantangan Pendidikan Pemilih di Era Digital Kehadiran teknologi digital dan media sosial membawa dampak besar bagi pembentukan opini politik generasi muda. Di satu sisi, informasi sangat mudah diakses; di sisi lain, arus hoaks dan disinformasi juga semakin marak. Dalam situasi ini, keluarga berperan penting sebagai “filter nilai” agar anak tidak mudah terpengaruh oleh berita palsu atau propaganda politik yang menyesatkan. Orang tua perlu membekali anak dengan kemampuan literasi digital dengan mengajarkan bagaimana memeriksa kebenaran berita, mengenali sumber terpercaya, dan berpikir kritis sebelum menyebarkan informasi. Dengan demikian, anak tidak hanya menjadi pemilih yang aktif, tetapi juga pemilih yang cerdas dan bijak dalam menggunakan media. Menyiapkan Generasi Pemilih Berintegritas Membangun generasi pemilih pertama yang berintegritas bukan hanya tanggung jawab sekolah atau KPU, tetapi juga tanggung jawab keluarga. Setiap keluarga dapat berperan melalui tindakan sederhana: mengajak anak ikut menyimak debat calon pemimpin, mendiskusikan program kerja, atau bahkan menjelaskan proses pemilu itu sendiri. Ketika anak merasa dilibatkan, mereka akan memiliki rasa kepemilikan terhadap masa depan bangsanya dan lebih siap untuk menggunakan hak pilih secara bertanggung jawab. Selain itu, keluarga dapat menanamkan prinsip bahwa memilih bukan sekadar hak, melainkan juga kewajiban moral. Dengan cara ini, generasi muda akan memahami bahwa satu suara memiliki kekuatan besar dalam menentukan arah kebijakan publik dan pembangunan nasional. Penutup Keluarga adalah fondasi utama dalam membentuk karakter pemilih pertama. Dari keluargalah anak belajar mengenal arti kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulian terhadap sesama nilai-nilai yang juga menjadi inti dari demokrasi. Apabila setiap keluarga mampu menjalankan fungsi pendidikan politik dengan baik, maka kita tidak hanya melahirkan pemilih pertama yang cerdas, tetapi juga generasi muda yang sadar politik, berintegritas, dan siap menjaga keberlangsungan demokrasi Indonesia.

ANCAMAN SENYAP DEMOKRASI: MENGENAL LEGALISME OTOKRATIK DAN TERGUNCANGNYA BENTENG KONSTITUSI

Oleh: Sucipta Kesuma Anggota KPU Kabupaten Indramayu Ketua Divisi Perencanaan Data dan Informasi   Negara Republik yang demokratis Menurut (RM. A.B Kusuma, 2004) Sejak awal mempersiapkan diri sebagai sebuah negara merdeka, para pendiri bangsa telah mendesain Indonesia menjadi republik yang mendasarkan legitimasinya pada gagasan daulat rakyat. Gagasan demikian diejawantahkan dalam bentuk bahwa rakyat terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui wakil-wakilnya berupa badan perwakilan rakyat. Misalnya pada saat pelaksanaan sidang I badan penyelidik usaha persiapan kemerdekaan (BPUPK, Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai), 29 mei 1945). Perihal gagasan pembentukan sistem pemerintahan yang ideal Moh. Yamin, Soepomo dan Soekarno masing masing memberikan pandangannya di masa awal menuju Indonesia merdeka dalam sidang BPUPK. Bahwa Indonesia merdeka dalam desain awalnya adalah sebuah negara republik yang demokratis dimana jabatan kepala negara tidak ditentukan secara turun temurun, melainkan melalui proses pemilihan (Saldi Isra, 2019). Merujuk sejarah perkembangannya tentu bersifat dinamis, terkait dengan tata kelola dalam pengisian jabatan dalam sistem ketatanegaran Indonesia. Bisa di cermati secara historis dari empat fase rezim pemilu yang berlaku. Fase pertama adalah Pemilu 1955, fase Pemilu 1971-1997, fase Pemilu 1999, dan fase terakhir Pemilu 2004-2024. Pembagian tersebut didasarkan atas pertimbangan konstitusi yang menjadi dasar penyelenggaraan Pemilu dan konfigurasi politik yang mengitarinya (Saldi Isra, 2019). Sebagai bagian dari reformasi pasca 1998, prinsip demokrasi konstitusional kian dipertegas dan diperkuat. Demokrasi konstitusional tersebut tidak lain merupakan negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum sebagaimana prinsip negara hukum yang demokratis. Perbaikan pelaksanaan demokrasi melalui sarana pemilu semakin meyakinkan dengan ditandainya pengaturan prinsip-prinsip dasar penyelenggara Pemilu yang ada dalam konstitusi hasil perubahan, yakni di amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang berlangsung hingga empat kali. Perkembangan pengaturan tentang Pemilu terus berkembang dan berlangsung hingga pada pelaksanaan Pemilu di tahun 2024 yang dilakukan pertama kali secara serentak di bulan Februari untuk memilih  Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten. Disusul di tahun yang sama di bulan November dilaksanakan pemilihan Kepala Daerah di seluruh Indonesia dari tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Membaca fenomena baru kemunduran demokrasi Fenomena kemunduran demokrasi, atau yang dikenal dengan istilah democratic regression, sedang dialami hampir di seluruh negara di dunia dalam berbagai dimensi. Meskipun ditelisik secara historis bahwa kerusakan bahkan kematian demokrasi yang akhirnya membangkitkan otorianisme biasanya muncul melalui tindakan represif ekstra konstitusional, misalnya melalui instrumen militer bersenjata, sekarang memiliki pola yang berbeda dan sudah mengalami pergeseran. Otoritarianisme bangkit melalui pemerintahan hasil Pemilu. Marcus Mietzner mengemukakan gagasan bahwa otoritarianisme sangat mungkin bangkit melalui tindakan-tindakan yang sulit diidentifikasi sebagai tindakan anti demokrasi, seperti pemusatan kekuasaan hingga manipulasi terhadap desain Pemilihan Umum (wicaksana dramanda, syahrul fauzul kabir, dan asep hakim, 2024). Para pemimpin terpilih dari hasil Pemilu telah berhasil membajak lembaga-lembaga demokrasi. Upaya pemerintah membajak demokrasi “legal” dalam arti disetujui lembaga legislatif atau diterima lembaga yudikatif. Sehingga orang tidak langsung menyadari apa yang terjadi. Banyak yang masih percaya bahwa mereka masih hidup dalam demokrasi (Steven levinsky dan Daniel ziblatt, 2018). Meskipun pemisahan kekuasaan telah digariskan dalam konstitusi, tidak ada jaminan bahwa pemerintahan yang dibentuk secara demokratis akan dapat melahirkan serta mampu merawat, dan menjalankan pemerintahan yang demokratis dalam arti sesungguhnya. Praktik itu dapat diamati dimana pemegang kekuasaan mencari jalan yang salah dengan memanipulasi hukum dan peraturan. Penguasa dapat melakukan perubahan konstitusional dan hukum untuk melayani agenda yang tidak demokratis (Ananda prasetya utami dan Lita tyesta addy listya wardhani, 2024). Hal tersebut digunakan untuk melegitimasi tindakan autocratis dalam kerangka yang seolah-oleh konstitusional. Mengenal praktik legalisme otokratis Gejala kemunduran demokrasi yang bisa diamati dengan adanya upaya manipulasi sistem ketatanegaraan untuk mendapatkan keuntungan dan memanfaatkan celah-celah dalam prinsip demokrasi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Kim Lane Scheppele fenomena ini dikenal dengan istilah legalisme otokratis, yaitu pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif memanfaatkan kepercayaan rakyat dalam proses Pemilu untuk mencapai tujuan yang bertentangan dengan konstitusionalisme, dengan bertindak secara sembunyi-sembunyi dan berlindung di balik hukum (Ananda prasetya utami dan Lita tyesta addy listya wardhani, 2024). Senada yang juga dikemukakan (Levitsky dan Ziblat, 2019) Bahwa legalisme otokratis adalah upaya merekayasa penyelenggaraan negara melalui penggunaan mekanisme hukum untuk mengukuhkan kekuasaan yang cenderung otoriter dengan tetap mempertahankan struktur resmi demokrasi. Secara jelas Legalisme otokratik adalah suatu konsep yang merujuk pada parktik pemerintahan otoriter yang menggunakan hukum dan regulasi untuk memperkuat kekuasaan dan kontrol atas masyarakat. Dalam konteks ini, pemerintah tidak hanya beroperasi di luar batasan hukum, tetapi juga secara aktif menciptakan dan merapkan hukum untuk membenarkan tindakan otoriter mereka. Schepple (2018) berargumen bahwa legalisme otokratik menciptakan ilusi legitimasi di mana tindakan pemerintah dianggap sah secara hukum, meskipun kenyataannya bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Konsep legalisme otokratik juga berhubungan erat dengan teori legitimasi pemerintahan. (Max weber, 1922) dalam teorinya tentang tipe-tipe legitimasi menyatakan bahwa legitimasi dapat berasal dari tradisi, karisma, atau rasionalitas legal. Dalam konteks legalisme otokratik, legitimasi seringkali dibangun dan berakar dari pada rasionalitas legal, di mana pemerintahan berusaha menunjukan bahwa tindakan mereka sah secara hukum meskipun pertentangan bagi masyarakat sipil yang ingin menuntut akuntabilitas dan transparansi dari pemerintah. Dengan demikian, legalisme otokratik bukan hanya sekedar praktik hukum, akan tetapi juga merupakan strategi politik yang kompleks dimana memanfaatkan hukum untuk memperkuat kekuasaan otoriter. Paham yang lebih dalam tentang konsep tersebut sangatlah penting untuk menganalisis dinamika kekuasaan dalam konteks politik. Kita dapat mengenali lebih awal terhadap gejala kemunculan legalisme otokratik dengan diketahuinya seseorang yang telah berhasil dipilih melalui demokrasi melakukan serangan terhadap institusi yang berpotensi mengawasi dirinya saat menjalankan pemerintahannya kelak. Mendasari pandangan tersebut legalisme otokratik sangat jelas berupaya memanfaatkan demokrasi konstitusional untuk menuntaskan kepentingannya. Serangkaian beberapa kasus di mana kemunculan pemimpin baru yang karismatik/populer yang dipilih oleh publik secara demokratis, namun tidak disangka dengan berbekal mandat electoral mereka mengakali dan merubah sistem konstitusional yang diwarisi sebelumnya. Para pemimpin ini berupaya mengkonsolidasikan kekuasaan tepat digenggamannya dan berusaha dengan gigih mengupayakan peluang bagi dirinya agar dapat menjabat tanpa batas waktu melalui peran dirinya langsung atau peran kepentingan yang dititipkan. Sehingga praktik yang dijalankan pada akhirnya menghilangkan kepekaan publik untuk menuntut hak-hak demokratis mereka dalam hal meminta pertanggung-jawaban pemimpin dan untuk melaksanakan penggantian pemimpin secara damai dan demokratis (schapple, 2018). Menambahkan pandangan diatas dengan mengutip pandangan corrales, (zaenal arifin mochtar dan idul Rishan, 2022) menjelaskan bahwa secara praktik, gejala yang dimaksud diatas setidaknya dapat diketahui dengan memperhatikan tanda-tanda sebagai berikut, yaitu: kooptasi atau penyerapan terhadap partai-partai yang ada di parlemen, tujuannya untuk mendukung kekuasaan dan mengupayakan minimnya oposisi di parlemen. Kedua, terjadi pelanggaran hukum dan konstitusi yang umumnya dilakukan dengan cara membuat hukum maupun undang-undang yang ditujukan untuk dapat menguntungkan actor politik tertentu, yang mana disisi lain telah merugikan publik secara luas. ketiga, terganggunya independensi lembaga peradilan, mekanisme untuk mengganggu lembaga kekuasaan kehakiman dilakukan melalui berbagai cara diantaranya melalui pergantian komposisi hakim, seleksi yang tidak transparan, serta mengotak atik masa jabatan hakim. Meneropong demokrasi di Indonesia melalui peran MK Perbincangan mengenai demokrasi dalam konteks kehidupan bernegara tidak lekas selesai dibicarakan dalam kehidupan manusia di zaman modern dengan segudang problematika yang lebih kompleks terutama mengenai kecenderungan atas kemunculan atau indikasi menuju pemerintahan otoritarianisme. Seperti titik balik kemunduran demokrasi pasca reformasi di Indonesia dijumpai dengan diidentifikasinya upaya-upaya yang dilakukan atas prisip-prinsip bernegara yang ditabrak oleh penguasa untuk melanggengkan tujuan kepentingan penguasa secara sepihak. Langkah yang diidentifikasikan secara terang tetapi tidak banyak disadari oleh sebagian orang karena praktek-praktek yang dijalankan tidak terkesan dianggap melawan hukum sehingga terkesan legal. Terhadap keadaan kemunduran demokrasi di Indonesia diterangkan melalui laporan pemberitaan majalah TEMPO pada tanggal 9 maret 2025, bahwa indeks persepsi demokrasi Indonesia tahun 2024 menurun dibandingkan pada tahun 2023, yakni dari posisi ke 56 menjadi peringkat ke 59. The Economist Intelligence Unit (EUI) yang merupakan lembaga riset dan analisis yang berpusat di London, Inggris. Menunjukan indeks demokrasi di Indonesia pada tahun 2024 sebesar 6,44. Skor itu membuat Indonesia masuk kedalam kategori demokrasi cacat atau flawed demokrasi. Nilai itu lebih rendah dibandingkan pada 2023 sebesar 6,53. Bahkan indeks persepsi demokrasi tersebut juga jauh lebih buruk dibanding sepuluh tahun lalu sebelum presiden jokowi berkuasa, sebesar 6,59 pada tahun 2014 (TEMPO, 2025). Fokus utama penilaian EUI terhadap kondisi demokrasi di Indonesia adalah pemilihan presiden, pemilihan legislative, dan kepala daerah. EUI juga menyoroti tren politik dinasti di Indonesia, serta memotret bagimana kemenangan presiden prabowo subianto dan wakil presiden Gibran rakabuming raka dalam pertarungan Pilpres 2024, Indikasi adanya pelemahan demokrasi di Indonesia ternyata tidak hanya terjadi dalam praktik ketatanegaraan secara umum, ternyata juga dapat berpotensi merangsek kedalam sendi kekuasaan kehakiman melalui cabang kekuasaan yudikatif.  Yang paling fenomenal menjadi isu pembahasan nasional menjelang pelaksanaan pemilu 2024 adalah apa yang mengguncang dan terjadi di mahkamah konstitusi. yakni disinyalir telah terjadinya praktik legalisme otokratik melalui penyalahgunaan kewenangan pengujian undang-undang (Abuse judicial review). Terkait hal tersebut adalah keluarnya putusan MK Nomor 90/PUU/XII/2023, dimana mahkamah konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pengujian pasal 169 huruf q undang-undang nomor 7 tahun 2027 tentang pemilihan umum, yang awalnya mengatur: Persyaratan menjadi calon presiden dan wakil presiden adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun. Menjadi dimaknai berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Menjadi kontroversial karena dianggap inkonsistensinya putusan MK yang menolak mengabulkan permohonan yang sama secara substansi yang terdapat pada putusan-putusan sebelumnya, yakni putusan MK nomor 29/PUU-XII/2023, putusan nomor 51/PUU-XII/2023 dan pada putusan MK Nomor 55/PUU-XII/2023 yang pada pokoknya perihal pengujian terhadap permohonan ketentuan batas minimal usia capres dan cawapres. Guru Besar Hukum Tata Negara M. Ali Sa’faat berpendapat bahwa perubahan putusan Mahkamah Konstitusi harus dilatarbelakangi oleh perkembangan masyarakat, perubahan teori, atau perubahan penafsiran hakim yang didasarkan pada argumentasi yang jelas sebagai bentuk perbaikan atas putusan sebelumnya. perubahan amar putusan dalam waktu singkat menimbulkan kekhawatiran akan adanya intervensi pihak lain atau konflik kepentingan. Apalagi, putusan-putusan terkait pengujian Pasal 169 UU No. 7/2027 dikeluarkan dalam suasana yang berdekatan dengan pemilihan. (selvi shristina situmeang, ardilafiza, dan ari wirya dinata, 2024) Putusan-putusan yang inkonsistensi dari mahkamah konstitusi semakin menguatkan dugaan adanya tekanan politik sejalan dengan dugaan upaya prakondisi yang dilakukan dengan didahuluinya pencopotan hakim aswanto sebagai salah satu hakim mahkamah konstitusi di tengah masa jabatan belum berakhir. Indikasi adanya tekanan politik putusan MK Nomor 90/PUU/XII/2023 semakin menyeruak ke permukaan ketika diungkap oleh salah satu hakim MK saldi isra dalam pembacaan pendapat berbeda (dissenting opinion) atas putusan tersebut secara terbuka. Dalam dissenting-nya, Saldi mengungkap peristiwa ‘aneh’ yang luar biasa dan jauh dari batas penalaran yang wajar. Dia melihat ada ‘misteri’ dalam proses pengujian permohonan Pasal 169 q UU 7/2017, khususnya perkara 90/PUU-XXI/2023. Pada intinya, Saldi berpendapat permohonan pengujian perkara 90/PUU-XXI/2023 harusnya bernasib sama seperti perkara 29-51-55/PUU-XXI/2023 yakni ditolak. Menurut Bivitri Susanti fenomena ini terindikasi legalisme otokratik yakni penggunaan serangan yang terencana dan berkesinambungan oleh penguasa pada institusi yang tugasnya justru untuk mengawasi tindakannya, dalam kerangka mandat demokratiknya (Hukum Online, 2021). Mahkamah konstitusi yang merupakan benteng terakhir dalam menjaga dan menegakan paham konstitusionalisme ternyata tidak luput dari upaya pelemahan dengan mempengaruhi proses pembuatan putusan (judge verdict making). Putusan mahkamah konstitusi, yang bersifat mengikat secara universal, seyogyanya dapat memberikan dampak masif dalam membentengi upaya penggerusan nilai-nilai demokrasi sebagaimana perwujudan supremasi konstitusi. Padahal menurut Ahmad edi subiyanto (Selvi christiana situmeang, Ardilafirza, dan Ari Wirya Dinata, 2024) Mahkamah konstitusi diharapkan dapat menginterpretasikan konstitusi secara sunguh-sungguh, sehingga tidak menimbulkan kerugian konstitusional bagi masyarakat. Kewaspadaan dan penguatan demokrasi Berkaca pada semangat awal pembentukan republik dan upaya perbaikan alam demokrasi di Indonesia secara berkesinambungan dari waktu ke waktu, dapat dijadikan tongak dan pemicu yang baik bagi bangsa Indonesia kedepan untuk selalu merawat asa dalam menghadapi hambatan dan tantangan pada proses penguatan demokrasi. Serangkaian upaya-upaya harus selalu dilakukan dengan penguatan civil society, membangun masyarakat kritis, dan perbaikan sistem secara menyeluruh diberbagai aspek dan bidang. Membangun kewaspadaan terhadap ancaman kemunduran demokrasi di Indonesia merupakan tanggung jawab bersama sebagai anak bangsa. Oleh karena itu kemunculan fenomena praktik legalisme otokratik yang terjadi juga diberbagai negara harus menjadi bahan pembelajaran dalam upaya memahami dan mengidentifikasikan lebih awal sebagai upaya pencegahan. Mewujudkan negara hukum yang demokratis merupakan sebuah komitmen bersama yang harus terus dirawat dan dijaga. Dan wujud demokrasi yang paling minimalis adalah adanya proses pergantian kekuasaan melalui instrumen Pemilu yang jujur dan adil. Tentu bukan hal mudah, karena seperti parasit yang hidup dan menempel di inang, demokrasi yang tidak dirawat dengan baik dapat berpotensi memunculkan otoritarinisme. Dimana pemimpin otoriter lahir dari proses yang terlihat sangat demokratis, yakni berasal melalui kotak suara yang terpilih. Seperti yang dikatakan oleh Naomi klein, “Democracy is not just the right to vote, it is the right to live in dignity.”

Melawan Covid-19

Mengenal Coronavirus Disease COVID-19 World Health Organization (WHO) telah menyatakan Coronavirus Disease COVID-19 sebagai kejadian pandemi sejak 30 Januari 2020. Sedangkan di Republik Indonesia pada tanggal 15 Maret 2020, Presiden Jokowi juga menyatakan bahwa COVID-19 sebagai bencana non alam sehingga wajib dilakukan upaya penanggulangan agar COVID-19 tidak menyebar atau tidak terjadi peningkatan kasus. Kriteria umum penetapan COVID-19 sebagai pandemi adalah virus menyebabkan kematian, penularan virus dari orang ke orang terus berlanjut tak terkendali, dan virus telah menyebar hampir keseluruh dunia. Dengan menetapkan status pandemi, WHO meminta pemerintah seluruh negara meningkatkan usaha dalam mendeteksi, melacak, mengetes, merawat, dan mengisolasi kasus-kasus terkait corona. COVID-19 merupakan virus yang menyebabkan penyakit dengan gejala ringan hingga gejala berat, setidaknya ada dua jenis corona virus yang diketahui yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). COVID-19 penyakit jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab COVID-19 ini dinamakan Sars-CoV-2. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia). Adapun hewan yang menjadi sumber penularan COVID-19 sampai saat ini masih belum diketahui. Namun diduga ditularkan dari ular dan kalelawar. Tanda dan gejala umum bagian seseorang yang terinfeksi COVID-19 antara lain: gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk, dan sesak nafas. Masa inkubasi rata-rata 5 sampai 6 hari dengan masa inkubasi terpanjang yaitu 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang berat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan menyebabkan seseorang yang terinfeksi meninggal dunia. Sejak kasus COVID-19 ini muncul tanda-tanda dan gejala klinis yang dilaporkan pada sebagia besar kasus yaitu pasien mengalami demam, dan pada beberapa kasus mengalami kesulitan bernapas, dan hasil rontgen menunjukkan infiltrat pneumonia luas pada kedua paru. Mencegah Terinfeksi COVID-19 Untuk mencegah terinfeksi dari COVID-19 adalah melalui cuci tangan secara teratur dengan menggunakan sabun antiseptik, jika tidak memungkinkan cuci tangan, gunakan hand sanitizer dengan kadar alkohol minimal 60 persen, menerapkan etika batuk dan bersin, pertahankan jarak minimal 1 meter dari orang yang bartuk atau bersin, menghindari kontak secara langsung dengan hewan ternak dan hewan liar, menghindari kontak dekat dengan siapa pun yang menunjukkan gejala penyakit pernapasan seperti batuk dan bersin, hindari menyentuh tangan, hidung, dan mata. Yang dapat dilakukan di tempat umum atau transportasi massal adalah cuci tangan atau gunakan hand sanitizer setelah menyentuh fasilitas publik, hindari kerumunan yang membatasi ruang gerak, kurangi kontak dengan pegangan atau pintu, tidak berjabat tangan, bergandengan, atau berpelukan, dan mengurangi frekuensi ke toko. Pergi hanya saat mendesak dan menjaga imunitas tubuh. Cuci tangan secara teratur dapat dilakukan secara kasat mata pada saat tangan terlihat kotor, setelah buang air kecil/besar, setelah batuk atau bersin, setelah kontak dengan orang yang sakit, sebelum, saat, dan setelah menyiapkan makanan, sebelum makan, setelah menggunakan toilet, dan setelah bersentuhan dengan hewan atau membersihkan kotoran hewan. Menerapkan etika batuk dan bersin dapat dilakukan dengan tutup mulut menggunakan tisu atau bagian dalam siku, segera membuang tisu ke tempat sampah tertutup, dan segera cuci tangan menggunakan air dan sabun atau pembersih tangan. Cara untuk menjaga imunitas tubuh dapat dilakukan dengan mengkonsumsi protein lebih banyak, mengkonsumsi buah dan sayur lebih banyak, tidur cukup 8 jam perhari, rutin berolahraga, pastikan minum air putih tercukupi, dan minum campuran jahe dan lemon. Selain itu pemerintah juga meningkatkan usaha dalam mendeteksi, melacak, mengetes, merawat, dan mengisolasi kasus-kasus terkait corona. Pemerintah mengharapkan masyarakat agar melakukan social distancing. Sosial distancing adalah meminimalisir kontak langsung antar manusia atau menjaga jarak tertentu. Tujuannya adalah untuk mengurangi penularan virus karena terpapar droplet (partikel air liur).  Ini menjadi salah satu cara yang diyakini efektif untuk mencegah atau memutus rantai penyebaran COVID-19, memberlakukan belajar jarak jauh untuk sekolah, menutup ruang publik seperti tempat wisata, menunda event-event besar, dan mendorong perusahaan memberlakukan kerja jarak jauh. Cara Mengobati Gejala yang paling umum ditemukan pada pasien adalah demam, batuk, sesak napas, dan sakit kepala. Namun ada beberapa pasien lainnya yang mengeluh sakit tenggorokan, pilek, dan muntah-muntah. Jika mengalami gejala tersebut maka yang perlu dilalukan adalah tetap di rumah dan cukup minum. Apabila gejala tersebut masih berlanjut maka segera berobat ke Puskesman atau Rumah Sakit rujukan COVID-19. Agar tidak menulari orang lain, gunakan masker dan jaga etika bersin atau batuk, serta usahakan tidak menggunakan transportasi umum. Sumber: World Health Organization, Kementerian Kesehatan, CNN Indonesia.

Publikasi