ANCAMAN SENYAP DEMOKRASI: MENGENAL LEGALISME OTOKRATIK DAN TERGUNCANGNYA BENTENG KONSTITUSI

Oleh: Sucipta Kesuma

Anggota KPU Kabupaten Indramayu Ketua Divisi Perencanaan Data dan Informasi

 

Negara Republik yang demokratis

Menurut (RM. A.B Kusuma, 2004) Sejak awal mempersiapkan diri sebagai sebuah negara merdeka, para pendiri bangsa telah mendesain Indonesia menjadi republik yang mendasarkan legitimasinya pada gagasan daulat rakyat. Gagasan demikian diejawantahkan dalam bentuk bahwa rakyat terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui wakil-wakilnya berupa badan perwakilan rakyat. Misalnya pada saat pelaksanaan sidang I badan penyelidik usaha persiapan kemerdekaan (BPUPK, Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai), 29 mei 1945).

Perihal gagasan pembentukan sistem pemerintahan yang ideal Moh. Yamin, Soepomo dan Soekarno masing masing memberikan pandangannya di masa awal menuju Indonesia merdeka dalam sidang BPUPK. Bahwa Indonesia merdeka dalam desain awalnya adalah sebuah negara republik yang demokratis dimana jabatan kepala negara tidak ditentukan secara turun temurun, melainkan melalui proses pemilihan (Saldi Isra, 2019).

Merujuk sejarah perkembangannya tentu bersifat dinamis, terkait dengan tata kelola dalam pengisian jabatan dalam sistem ketatanegaran Indonesia. Bisa di cermati secara historis dari empat fase rezim pemilu yang berlaku. Fase pertama adalah Pemilu 1955, fase Pemilu 1971-1997, fase Pemilu 1999, dan fase terakhir Pemilu 2004-2024. Pembagian tersebut didasarkan atas pertimbangan konstitusi yang menjadi dasar penyelenggaraan Pemilu dan konfigurasi politik yang mengitarinya (Saldi Isra, 2019).

Sebagai bagian dari reformasi pasca 1998, prinsip demokrasi konstitusional kian dipertegas dan diperkuat. Demokrasi konstitusional tersebut tidak lain merupakan negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum sebagaimana prinsip negara hukum yang demokratis. Perbaikan pelaksanaan demokrasi melalui sarana pemilu semakin meyakinkan dengan ditandainya pengaturan prinsip-prinsip dasar penyelenggara Pemilu yang ada dalam konstitusi hasil perubahan, yakni di amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang berlangsung hingga empat kali.

Perkembangan pengaturan tentang Pemilu terus berkembang dan berlangsung hingga pada pelaksanaan Pemilu di tahun 2024 yang dilakukan pertama kali secara serentak di bulan Februari untuk memilih  Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten. Disusul di tahun yang sama di bulan November dilaksanakan pemilihan Kepala Daerah di seluruh Indonesia dari tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Membaca fenomena baru kemunduran demokrasi

Fenomena kemunduran demokrasi, atau yang dikenal dengan istilah democratic regression, sedang dialami hampir di seluruh negara di dunia dalam berbagai dimensi. Meskipun ditelisik secara historis bahwa kerusakan bahkan kematian demokrasi yang akhirnya membangkitkan otorianisme biasanya muncul melalui tindakan represif ekstra konstitusional, misalnya melalui instrumen militer bersenjata, sekarang memiliki pola yang berbeda dan sudah mengalami pergeseran. Otoritarianisme bangkit melalui pemerintahan hasil Pemilu.

Marcus Mietzner mengemukakan gagasan bahwa otoritarianisme sangat mungkin bangkit melalui tindakan-tindakan yang sulit diidentifikasi sebagai tindakan anti demokrasi, seperti pemusatan kekuasaan hingga manipulasi terhadap desain Pemilihan Umum (wicaksana dramanda, syahrul fauzul kabir, dan asep hakim, 2024). Para pemimpin terpilih dari hasil Pemilu telah berhasil membajak lembaga-lembaga demokrasi. Upaya pemerintah membajak demokrasi “legal” dalam arti disetujui lembaga legislatif atau diterima lembaga yudikatif. Sehingga orang tidak langsung menyadari apa yang terjadi. Banyak yang masih percaya bahwa mereka masih hidup dalam demokrasi (Steven levinsky dan Daniel ziblatt, 2018).

Meskipun pemisahan kekuasaan telah digariskan dalam konstitusi, tidak ada jaminan bahwa pemerintahan yang dibentuk secara demokratis akan dapat melahirkan serta mampu merawat, dan menjalankan pemerintahan yang demokratis dalam arti sesungguhnya. Praktik itu dapat diamati dimana pemegang kekuasaan mencari jalan yang salah dengan memanipulasi hukum dan peraturan. Penguasa dapat melakukan perubahan konstitusional dan hukum untuk melayani agenda yang tidak demokratis (Ananda prasetya utami dan Lita tyesta addy listya wardhani, 2024). Hal tersebut digunakan untuk melegitimasi tindakan autocratis dalam kerangka yang seolah-oleh konstitusional.

Mengenal praktik legalisme otokratis

Gejala kemunduran demokrasi yang bisa diamati dengan adanya upaya manipulasi sistem ketatanegaraan untuk mendapatkan keuntungan dan memanfaatkan celah-celah dalam prinsip demokrasi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Kim Lane Scheppele fenomena ini dikenal dengan istilah legalisme otokratis, yaitu pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif memanfaatkan kepercayaan rakyat dalam proses Pemilu untuk mencapai tujuan yang bertentangan dengan konstitusionalisme, dengan bertindak secara sembunyi-sembunyi dan berlindung di balik hukum (Ananda prasetya utami dan Lita tyesta addy listya wardhani, 2024). Senada yang juga dikemukakan (Levitsky dan Ziblat, 2019) Bahwa legalisme otokratis adalah upaya merekayasa penyelenggaraan negara melalui penggunaan mekanisme hukum untuk mengukuhkan kekuasaan yang cenderung otoriter dengan tetap mempertahankan struktur resmi demokrasi.

Secara jelas Legalisme otokratik adalah suatu konsep yang merujuk pada parktik pemerintahan otoriter yang menggunakan hukum dan regulasi untuk memperkuat kekuasaan dan kontrol atas masyarakat. Dalam konteks ini, pemerintah tidak hanya beroperasi di luar batasan hukum, tetapi juga secara aktif menciptakan dan merapkan hukum untuk membenarkan tindakan otoriter mereka. Schepple (2018) berargumen bahwa legalisme otokratik menciptakan ilusi legitimasi di mana tindakan pemerintah dianggap sah secara hukum, meskipun kenyataannya bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Konsep legalisme otokratik juga berhubungan erat dengan teori legitimasi pemerintahan. (Max weber, 1922) dalam teorinya tentang tipe-tipe legitimasi menyatakan bahwa legitimasi dapat berasal dari tradisi, karisma, atau rasionalitas legal. Dalam konteks legalisme otokratik, legitimasi seringkali dibangun dan berakar dari pada rasionalitas legal, di mana pemerintahan berusaha menunjukan bahwa tindakan mereka sah secara hukum meskipun pertentangan bagi masyarakat sipil yang ingin menuntut akuntabilitas dan transparansi dari pemerintah.

Dengan demikian, legalisme otokratik bukan hanya sekedar praktik hukum, akan tetapi juga merupakan strategi politik yang kompleks dimana memanfaatkan hukum untuk memperkuat kekuasaan otoriter. Paham yang lebih dalam tentang konsep tersebut sangatlah penting untuk menganalisis dinamika kekuasaan dalam konteks politik.

Kita dapat mengenali lebih awal terhadap gejala kemunculan legalisme otokratik dengan diketahuinya seseorang yang telah berhasil dipilih melalui demokrasi melakukan serangan terhadap institusi yang berpotensi mengawasi dirinya saat menjalankan pemerintahannya kelak. Mendasari pandangan tersebut legalisme otokratik sangat jelas berupaya memanfaatkan demokrasi konstitusional untuk menuntaskan kepentingannya. Serangkaian beberapa kasus di mana kemunculan pemimpin baru yang karismatik/populer yang dipilih oleh publik secara demokratis, namun tidak disangka dengan berbekal mandat electoral mereka mengakali dan merubah sistem konstitusional yang diwarisi sebelumnya. Para pemimpin ini berupaya mengkonsolidasikan kekuasaan tepat digenggamannya dan berusaha dengan gigih mengupayakan peluang bagi dirinya agar dapat menjabat tanpa batas waktu melalui peran dirinya langsung atau peran kepentingan yang dititipkan. Sehingga praktik yang dijalankan pada akhirnya menghilangkan kepekaan publik untuk menuntut hak-hak demokratis mereka dalam hal meminta pertanggung-jawaban pemimpin dan untuk melaksanakan penggantian pemimpin secara damai dan demokratis (schapple, 2018).

Menambahkan pandangan diatas dengan mengutip pandangan corrales, (zaenal arifin mochtar dan idul Rishan, 2022) menjelaskan bahwa secara praktik, gejala yang dimaksud diatas setidaknya dapat diketahui dengan memperhatikan tanda-tanda sebagai berikut, yaitu: kooptasi atau penyerapan terhadap partai-partai yang ada di parlemen, tujuannya untuk mendukung kekuasaan dan mengupayakan minimnya oposisi di parlemen. Kedua, terjadi pelanggaran hukum dan konstitusi yang umumnya dilakukan dengan cara membuat hukum maupun undang-undang yang ditujukan untuk dapat menguntungkan actor politik tertentu, yang mana disisi lain telah merugikan publik secara luas. ketiga, terganggunya independensi lembaga peradilan, mekanisme untuk mengganggu lembaga kekuasaan kehakiman dilakukan melalui berbagai cara diantaranya melalui pergantian komposisi hakim, seleksi yang tidak transparan, serta mengotak atik masa jabatan hakim.

Meneropong demokrasi di Indonesia melalui peran MK

Perbincangan mengenai demokrasi dalam konteks kehidupan bernegara tidak lekas selesai dibicarakan dalam kehidupan manusia di zaman modern dengan segudang problematika yang lebih kompleks terutama mengenai kecenderungan atas kemunculan atau indikasi menuju pemerintahan otoritarianisme. Seperti titik balik kemunduran demokrasi pasca reformasi di Indonesia dijumpai dengan diidentifikasinya upaya-upaya yang dilakukan atas prisip-prinsip bernegara yang ditabrak oleh penguasa untuk melanggengkan tujuan kepentingan penguasa secara sepihak. Langkah yang diidentifikasikan secara terang tetapi tidak banyak disadari oleh sebagian orang karena praktek-praktek yang dijalankan tidak terkesan dianggap melawan hukum sehingga terkesan legal.

Terhadap keadaan kemunduran demokrasi di Indonesia diterangkan melalui laporan pemberitaan majalah TEMPO pada tanggal 9 maret 2025, bahwa indeks persepsi demokrasi Indonesia tahun 2024 menurun dibandingkan pada tahun 2023, yakni dari posisi ke 56 menjadi peringkat ke 59. The Economist Intelligence Unit (EUI) yang merupakan lembaga riset dan analisis yang berpusat di London, Inggris. Menunjukan indeks demokrasi di Indonesia pada tahun 2024 sebesar 6,44. Skor itu membuat Indonesia masuk kedalam kategori demokrasi cacat atau flawed demokrasi. Nilai itu lebih rendah dibandingkan pada 2023 sebesar 6,53. Bahkan indeks persepsi demokrasi tersebut juga jauh lebih buruk dibanding sepuluh tahun lalu sebelum presiden jokowi berkuasa, sebesar 6,59 pada tahun 2014 (TEMPO, 2025).

Fokus utama penilaian EUI terhadap kondisi demokrasi di Indonesia adalah pemilihan presiden, pemilihan legislative, dan kepala daerah. EUI juga menyoroti tren politik dinasti di Indonesia, serta memotret bagimana kemenangan presiden prabowo subianto dan wakil presiden Gibran rakabuming raka dalam pertarungan Pilpres 2024,

Indikasi adanya pelemahan demokrasi di Indonesia ternyata tidak hanya terjadi dalam praktik ketatanegaraan secara umum, ternyata juga dapat berpotensi merangsek kedalam sendi kekuasaan kehakiman melalui cabang kekuasaan yudikatif.  Yang paling fenomenal menjadi isu pembahasan nasional menjelang pelaksanaan pemilu 2024 adalah apa yang mengguncang dan terjadi di mahkamah konstitusi. yakni disinyalir telah terjadinya praktik legalisme otokratik melalui penyalahgunaan kewenangan pengujian undang-undang (Abuse judicial review).

Terkait hal tersebut adalah keluarnya putusan MK Nomor 90/PUU/XII/2023, dimana mahkamah konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pengujian pasal 169 huruf q undang-undang nomor 7 tahun 2027 tentang pemilihan umum, yang awalnya mengatur: Persyaratan menjadi calon presiden dan wakil presiden adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun. Menjadi dimaknai berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.

Menjadi kontroversial karena dianggap inkonsistensinya putusan MK yang menolak mengabulkan permohonan yang sama secara substansi yang terdapat pada putusan-putusan sebelumnya, yakni putusan MK nomor 29/PUU-XII/2023, putusan nomor 51/PUU-XII/2023 dan pada putusan MK Nomor 55/PUU-XII/2023 yang pada pokoknya perihal pengujian terhadap permohonan ketentuan batas minimal usia capres dan cawapres. Guru Besar Hukum Tata Negara M. Ali Sa’faat berpendapat bahwa perubahan putusan Mahkamah Konstitusi harus dilatarbelakangi oleh perkembangan masyarakat, perubahan teori, atau perubahan penafsiran hakim yang didasarkan pada argumentasi yang jelas sebagai bentuk perbaikan atas putusan sebelumnya. perubahan amar putusan dalam waktu singkat menimbulkan kekhawatiran akan adanya intervensi pihak lain atau konflik kepentingan. Apalagi, putusan-putusan terkait pengujian Pasal 169 UU No. 7/2027 dikeluarkan dalam suasana yang berdekatan dengan pemilihan. (selvi shristina situmeang, ardilafiza, dan ari wirya dinata, 2024)

Putusan-putusan yang inkonsistensi dari mahkamah konstitusi semakin menguatkan dugaan adanya tekanan politik sejalan dengan dugaan upaya prakondisi yang dilakukan dengan didahuluinya pencopotan hakim aswanto sebagai salah satu hakim mahkamah konstitusi di tengah masa jabatan belum berakhir. Indikasi adanya tekanan politik putusan MK Nomor 90/PUU/XII/2023 semakin menyeruak ke permukaan ketika diungkap oleh salah satu hakim MK saldi isra dalam pembacaan pendapat berbeda (dissenting opinion) atas putusan tersebut secara terbuka.

Dalam dissenting-nya, Saldi mengungkap peristiwa ‘aneh’ yang luar biasa dan jauh dari batas penalaran yang wajar. Dia melihat ada ‘misteri’ dalam proses pengujian permohonan Pasal 169 q UU 7/2017, khususnya perkara 90/PUU-XXI/2023. Pada intinya, Saldi berpendapat permohonan pengujian perkara 90/PUU-XXI/2023 harusnya bernasib sama seperti perkara 29-51-55/PUU-XXI/2023 yakni ditolak.

Menurut Bivitri Susanti fenomena ini terindikasi legalisme otokratik yakni penggunaan serangan yang terencana dan berkesinambungan oleh penguasa pada institusi yang tugasnya justru untuk mengawasi tindakannya, dalam kerangka mandat demokratiknya (Hukum Online, 2021).

Mahkamah konstitusi yang merupakan benteng terakhir dalam menjaga dan menegakan paham konstitusionalisme ternyata tidak luput dari upaya pelemahan dengan mempengaruhi proses pembuatan putusan (judge verdict making). Putusan mahkamah konstitusi, yang bersifat mengikat secara universal, seyogyanya dapat memberikan dampak masif dalam membentengi upaya penggerusan nilai-nilai demokrasi sebagaimana perwujudan supremasi konstitusi. Padahal menurut Ahmad edi subiyanto (Selvi christiana situmeang, Ardilafirza, dan Ari Wirya Dinata, 2024) Mahkamah konstitusi diharapkan dapat menginterpretasikan konstitusi secara sunguh-sungguh, sehingga tidak menimbulkan kerugian konstitusional bagi masyarakat.

Kewaspadaan dan penguatan demokrasi

Berkaca pada semangat awal pembentukan republik dan upaya perbaikan alam demokrasi di Indonesia secara berkesinambungan dari waktu ke waktu, dapat dijadikan tongak dan pemicu yang baik bagi bangsa Indonesia kedepan untuk selalu merawat asa dalam menghadapi hambatan dan tantangan pada proses penguatan demokrasi. Serangkaian upaya-upaya harus selalu dilakukan dengan penguatan civil society, membangun masyarakat kritis, dan perbaikan sistem secara menyeluruh diberbagai aspek dan bidang.

Membangun kewaspadaan terhadap ancaman kemunduran demokrasi di Indonesia merupakan tanggung jawab bersama sebagai anak bangsa. Oleh karena itu kemunculan fenomena praktik legalisme otokratik yang terjadi juga diberbagai negara harus menjadi bahan pembelajaran dalam upaya memahami dan mengidentifikasikan lebih awal sebagai upaya pencegahan.

Mewujudkan negara hukum yang demokratis merupakan sebuah komitmen bersama yang harus terus dirawat dan dijaga. Dan wujud demokrasi yang paling minimalis adalah adanya proses pergantian kekuasaan melalui instrumen Pemilu yang jujur dan adil. Tentu bukan hal mudah, karena seperti parasit yang hidup dan menempel di inang, demokrasi yang tidak dirawat dengan baik dapat berpotensi memunculkan otoritarinisme. Dimana pemimpin otoriter lahir dari proses yang terlihat sangat demokratis, yakni berasal melalui kotak suara yang terpilih. Seperti yang dikatakan oleh Naomi klein, “Democracy is not just the right to vote, it is the right to live in dignity.”

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 359 Kali.